Magang MBKM dan Organisasi Mahasiswa

Narasi Putul
4 min readMar 8, 2023

--

Sumber: dokumen pribadi

Sedikit kilas balik, dua tahun ini telah berlangsung pemilihan umum mahasiswa raya baik itu di tingkat universitas maupun fakultas dengan lumayan sepi. Pasalnya terhitung sejak tahun 2020, organisasi mahasiwa atau yang biasa disingkat ormawa, mengalami kemandekan kaderisasi karena adanya disrupsi sistem kerja yang biasanya berlangsung secara luring, kini menjadi daring. Para senior akan kesulitan menjangkau junior-juniornya karna terpisahkan oleh jarak dan pertemuan yang hanya bisa dilakukan secara online. Tidak ada yang tahu apakah mahasiswa benar-benar mengikuti kegiatan ormawa ataukah hanya menitipkan nama di zoom meeting dan kehadiran bermodalkan kirim stiker via grup WhatsApp. Di masa-masa yang sulit seperti ini, senior harus menemukan cara agar bonding anggota dapat berjalan.

Kepanikan di masa pandemi tidak hanya dirasakan oleh pihak ormawa, melainkan para dosen dan bahkan Kemendikburistek pun juga merasakan hal yang sama. Mereka juga khawatir apakah pembelajaran secara asinkronus bisa diterima dan dipahami oleh mahasiswa, apakah mereka bisa benar-benar belajar dan meningkatkan kapasitas dirinya selama pandemi sementara kegiatan perkuliahn berlangsung secara daring. Atas keresahan tersebut dan ditambah dengan keresahan-keresahan lain seperti tentang kualitas output lulusan perguruan tinggi, Kemendikbudristek meluncurkan program baru Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program MBKM ini hadir untuk memberikan wadah bagi mahasiswa meningkatkan kompetensi tidak hanya terbatas di ruang lingkup jurusannya, akan tetapi mahasiswa bisa menjelajah ke berbagai ruang belajar yang bahkan bisa lintas studi sekalipun. Tidak hanya memberikan ruang belajar, MBKM juga memberikan tambahan uang saku bagi para mahasiswa yang mengikuti program tersebut. Alhasil dengan fasilitas yang banyak, minat mahasiswa secara perlahan bergeser dari mengikuti ormawa menjadi ingin mengikuti MBKM.

Cerita selanjutnya akan saya ambilkan dari kasus di kampus saya. Turunnya minat mahasiswa untuk aktif berorganisasi tidak serta merta karena kehadiran MBKM, melainkan juga disebabkan oleh kemandekan dan kebuntuan berpikir para pelaku ormawa dalam merubah suasana belajar menjadi lebih kondusif dan progresif, bukan malah menekankan senioritas. Pelaku ormawa masih terikat dengan pola pikir warisan senior dan tidak mampu melakukan reformasi proker-proker yang relevan untuk dikerjakan pada masa kini dan suasana rapat yang efektif efisien. Hingga saat ini, kepanitian masih menekankan senioritas dan cenderung memaksakan rapat full team selama berjam-jam. Anggota-anggota kepanitian/organisasi juga diberikan drama tekanan mental hingga mengeluarkan air mata hanya karena semata-mata untuk meningkatkan rasa kepemilikan anggota atas event atau organisasi tersebut, yang padahal, hal tersebut jauh dari sikap berpikir kritisi. Kreativitas perlahan dimatikan, dan belum lagi uang anggota yang diperas untuk membayar uang kas, denda, dan risol yang tidak laku. Maka sudah sewajarnya jika mahasiswa-mahasiswa ini enggan bergabung ke dalam ormawa dan lebih memilih mengikuti MBKM.

Sementara itu, proses pemilihan umum mahasiswa raya (PEMIRA) juga menemukan permasalahan. Seiring menurunnya minat mahasiswa terhadap ormawa, minat mahasiswa berkontestasi dalam ajang politik kampus pun kian menurun. Tidak ada lagi kepentingan yang dirasa mendesak untuk disuarakan. Tidak ada keresahan yang harus dimasukkan dalam isu prioritas dalam PEMIRA. Bukan karena mahasiswa dibungkam untuk bersuara, melainkan mereka sendiri yang enggan untuk bersuara. Segala kebutuhan untuk dapat berkembang, menambah soft skill seoalah-olah telah terpenuhi melalui program MBKM yang digalakan pemerintah. Tidak hanya dapat mengembangkan kemampuan diri, mahasiswa juga diberikan uang saku sehingga kebutuhan finansial mereka tercukupi semenjak semasa kuliah. Berkebalikan dengan kegiatan-kegiatan yang ada di ormawa, para mahasiswa hanya dibebani proker warisan yang saklek dan tidak memberikan keleluasaan berkespresi karena ada tuntutan dari senior, ditambah keuangan mereka juga ikutan minus karena harus membeli seragam, membayar iuran kas, dan membayar denda ketidakhadiran atau ketidak ikut sertaan dalam membantu sponsorship.

Partai mahasiswa dan organisasi mahasiswa eksternal (ormeks) yang digadang-gadang untuk menghidupkan perpolitikan kampus pun menemukan masalah yang sama. Satu persatu anggota hilang di dalam kesibukan mereka ber MBKM ria, lalu melupakan komitmen mereka di dalam partai dan ormeks. Ironinya, mereka yang diharap-harapkan mampu meramaikan PEMIRA, tidak pernah dikasih ruang untuk membranding dirinya di dalam expo UKK/UKM dikarenakan partai dan ormeks tidak masuk di dalam struktur ormawa kampus. Hal ini berimbas pada matinya partai dan ormeks secara perlahan. Faktor SDM berpengaruh, namun faktor luar seperti yang sudah diebutkan juga memberikan pengaruh pada habisnya anggota-anggota partai dan ormeks.

Tidak satu pun sistem politik yang dapat terus melangsungkan kerjanya jikalau anggota-anggotanya tidak bersedia mendukung eksistensi suatu kelompok yang berusaha menyelesaikan perbedaan-perbedaan atau mendorong pembuatan keputusan-keputusan melalui tindakan tindakan bersama secara damai (Masoed dan MacAndrews, 2011).

Kalimat ini berlaku dimanapun, apalagi partai dan ormeks yang kehabisan massa, bagaimana bisa eksis jika regenerasi pengurus internal saja sulit. Namun nafas untuk terus berjuang jika tidak dibersamai dengan tujuan dan nilai filosofis yang kuat, maka langkah selanjutnya akan semakin berat. Tidak hanya itu, bagi pemimpin ormawa selanjutnya, harus bisa melakukan reformasi perubahan proker dan budaya rapat yang terlalu menguras tenaga dan waktu menjadikannya tidak efisien, tenaga SDM jangan dihabiskan untuk rapat, kebebasan berkespresi pun jangan dibatasi oleh permintaan-permintaan senior. Alangkah baiknya senior memberikan opsi-opsi masukkan, dan syukur-syukur relasi sponsor guna meringankan beban panitia dan menjauhkan mereka dari jurang pemakaian dana pribadi untuk acara. Jika semua itu bisa diterapkan, maka tak perlu khawatir branding ormawa kalah dengan MBKM. Karena ormawa bisa menghadirkan ruang belajar yang progresif bukan eksploitatif bak romusha.

--

--

Narasi Putul
Narasi Putul

Written by Narasi Putul

Memanfaatkan sejengkal akal untuk menulis pikiran yang terabaikan

No responses yet